CCTV & HUKUM
Teknologi CCTV berkaitan Fitur
Camera & kaitan dengan solusi untuk HUKUM di Indonesia
PENDAHULUAN
Peran teknologi informasi sudah menjadi hal yang
penting pada saat ini. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang
semakin menjamur, berbagai bidang pekerjaan seperti pendidikan, kedokteran,
keamanan dan lain – lain kini telah menggunakan perangkat - perangkat
teknologi. Perangkat - perangkat tersebut salah satunya adalah komputer. Dengan
bantuan komputer semua pekerjaan kita dibantudan dipermudah. Hampir semua
pekerjaan dalam berbagai bidang pada saat ini sudahmenggunakan komputer. Dalam
bidang keamanan misalnya, sudah tidak asing lagi bagi kita jika di setiap
gedung – gedung perkantoran atau di tempat - tempat usahakini menggunakan
sistem keamanan yang terkomputerisasi. Keamanan merupakan hal yang sangat
penting, berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan keamanan. Teknologi keamanan yang banyak digunakan
sekarangadalah Closed-Circuit Television (CCTV).
Alat
tersebut dapat memantau dan merekam segala aktivitas dan kejadian pada suatu
tempat setiap saat. Maka tidak heran jika kita menemukan kamera yang terpasang
di perusahaan - perusahaan besar, mall, pertokoan dan tempat umum lainnya guna
menjamin keamanan bagi pengelolahnya. Selain ditempat – tempat umum, juga digunakan untuk menjaga rumah atau ruang
penyimpanan atau gudang untuk menjaga informasi atau properti di dalamnya. Tanpa harus menempatkan banyak tenaga kerja terpercaya
di setiap sudut ruangan yang harus dijaga,
sehingga dapat memantau setiap ruangan dengan sebuah monitor.
CCTV
banyak digunakan di seluruh dunia sebagai alat keamanan dan pengawasan. Artikel
ini akan melihat apa pengertian CCTV, sejarah singkat teknologi ini dan
beberapa pemanfaatan utama CCTV di masyarakat.
Sejarah Tentang CCTV
Salah
satu kegunaan CCTV besar pertama di tahun 1940-an oleh Militer AS. Untuk
menguji misil V2 kamera sirkuit tertutup digunakan untuk memonitor tes
keselamatan. Teknologi ini menguntungkan karena pengertian CCTV memungkinkan
petugas untuk menonton erat, melihat keluar untuk cacat dan kemungkinan masalah
sementara tinggal keluar dari bahaya. Tanpa masalah CCTV dengan rudal mungkin
telah pergi tanpa diketahui.
Di
Inggris pada 1960-an CCTV dipasang di beberapa tempat umum untuk mengamati
kerumunan selama pawai dan rapat umum. Sebagai teknologi yang berkembang dan
menjadi CCTV berteknologi tinggi lebih banyak digunakan di tempat umum untuk
memonitor aktivitas. Selanjutnya menggunakan termasuk mencegah pencurian dari
outlet ritel.
Arti CCTV
CCTV
singkatan untuk televisi sirkuit tertutup. Jadi, pengertian CCTV ini berbeda
dari televisi anda menonton sabun favorit Anda pada karena tidak menyiarkan
sinyal kepada publik. Sebaliknya ia mengirimkan foto dari kamera video ke
monitor baik melalui kabel, pemancar nirkabel atau melalui internet. Gambar ini
dapat direkam dan disimpan pada disk.
Berdasarkan
pengertian CCTV di atas, CCTV banyak digunakan untuk memantau area publik
seperti stasiun kereta api, jalan, alun-alun pusat kota, toko-toko dan bus.
Namun, tidak berhenti di tempat umum karena banyak orang yang sekarang
berinvestasi dalam CCTV untuk melindungi rumah mereka. Dengan 9,5 juta
kejahatan di Inggris dan Wales tahun lalu jelas untuk melihat mengapa CCTV
sangat penting.
CCTV
adalah pencegah kejahatan besar sebagai pelaku tahu ini lebih besar kemungkinan
mereka akan diidentifikasi. Daerah yang kurang atau tidak ada CCTV mungkin akan
lebih berisiko kejahatan karena hal ini. Jika kehadiran CCTV tidak menghalangi
pelaku maka diharapkan akan menangkap informasi yang cukup untuk membantu
dengan penyelidikan polisi.
Sesuai
dengan arti CCTV, untuk bisnis CCTV dapat bertindak sebagai pencegah dari
pencuri eksternal namun juga dapat membantu mengidentifikasi penjahat dalam
sebuah organisasi. Untuk manajer dan pemilik usaha CCTV dapat memberikan
informasi bermanfaat tentang cara efektif karyawan Anda bekerja. Hal ini dapat
membantu melindungi staf Anda tidak salah dituduh misalnya jika nasabah klaim
mereka telah kehilangan-dijual produk, dan juga dapat melindungi perusahaan
dari tuduhan palsu misalnya penukaran cedera.
CCTV
merupakan sebuah sistem komputer menggunakan video kamera untuk menampilkan dan
merekam gambar pada waktu dan tempat dimana perangkat tersebut terpasang. CCTV
adalah singkatan dari kata Closed Circuit Television, yang artinya menggunakan
sinyal yang bersidat tertutup atau rahasia, tidak seperti televisi biasa pada
umumnya yang merupakan broadcast signal.CCTV pada umumnya digunakan untuk
pelengkap sistem keamanan dan juga banyak dipergunakan di berbagai lokasi
seperti bandara, kemiliteran, kantor, pabrik, dan toko. Bahkan semakin
berkembanya teknologi, CCTV sudah dipasang dalam lingkungan rumah pribadi.
Sebagai
sistem keamanan, CCTV terdiri dari beberapa bagian, ialah sebagai berikut.
1)
Camera
Camera
CCTV berfungsi sebagai alat pengambil gambar. Camera CCTV terdiri dari beberapa
tipe yang dibedakan dari segi fungsi, kualitas dan penggunaannya. Terdapat 2
kategori utama yang meliputi:
Camera CCTV Network
Camera CCTV Analog
2)
DVR (Digital Video Recorder)
DVR
kepanjangan dari Digital Video Recorder ialah salah satu perangkat yang diguanakan
camera CCTV untuk merekam gambar atau yang dikirim oleh camera ke dalam
perangkat ini. Terdapat 2 kategori penting didalamnya, yaitu:
Stand Alone DVR
PC Card DVR
Terdapat
bayak sekali fitur dari DVR yang bisa anda manfaatkan sebagai alat keamanan,
contoh salah satunya ialah merekam semua kejadian atau peristiwa dimana hasil
rekaman seringkali dipergunakan dalam kasus peradilan dalam membuktikan suatu
perkara atau kejadian. Ada berbagai jenis DVR yang dapat digunakan dengan fitur
dan keunggulan yang berbeda-beda. Keunggulan atau spesifikasi DVR inilah yang
menentukan berapa banyak kamera yang dapat dipasang dan kualitas gambar yang
dihasilkan.
DVR
juga berfungsi untuk mengatur dan merekam cara kerja CCTV yang biasanya dibagi
ke dalam beberapa channel, antara lain: 4,8,16 dan 32.
3)
Hard Disk Drive (HDD)
HDD
adalah singkatan dari Hard Disk Drive yang merupakan media penyimpanan data
dari gambar video yang telah direkam.Hard Disk Drive dipasang di dalam DVR.
Semakin besar kapasitas HDD maka semakin panjang pula proses perekaman yang
dapat dilakukan oleh CCTV tersebut.
4)
Coaxial Cable
Ini
adalah kabel yang merupakan kabel penghantar signal video dari kamera CCTV ke
DVR, atau sebaliknya dari DVR ke monitor.
5)
Power Cable
Kabel
ini diperlukan apabila kabel kamera CCTV yang disediakan tidak cukup panjang
untuk menjangkau sumber listrik terdekat.
6)
BNC Connector
Adalah
konektor yang dipasang pada kabel coaxial.
CCTV
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya:
1)
ANALOG CAMERA
Sistem
kerja kamera analog terhubung ke DVR dengan menggunakan kabel jenis
coaxial/BNC(Bayonet Neil Connector). Hasil rekaman akan disimpan ke dalam
hardisk di storage DVR yang terhubung ke monitor untuk melihat gambar yang
terekam dengan memanfaatkan jaringan LAN maupun internet.
Salah
satu kelemahan CCTV jenis ini adalah keterbatasan dalam penempatan karena harus
menggunakan kabel. Selain itu tampilan gambar juga kurang maksimal bila di zoom
dengan resolusi tinggi, karena resolusi yang dihasilkan oleh analog camera
hanya sebesar 960×576 pixel.
2)
IP CAMERA
IP
( Internet Protocol ) Camera memiliki fungsi dan cara kerja yang lebih baik
bila dibandingkan dengan analog camera. IP Camera dapat secara otomatis
mentransfer data atau mengkonversi file ke dalam file digital yang dapat
dilihat secara online melalui internet dengan menggunakan IP yang telah
ditentukan.
Kamera
ini juga mampu memproses gambar atau rekaman lalu mengirimkan informasi melalui
koneksi Ethernet ke komputer, PC, Mobile Phone, dll yang di dalamnya terdapat
aplikasi CMS (Content Management System) yang dapat diakses dengan web browser
seperti firefox, IE, Chrome dll.
Selain
menggunakan kabel yang berbeda dengan analog camera (IP camera menggunakan
kabel jenis UTP), IP camera juga tidak harus menggunakan adaptor/power DC
seperti halnya analog camera. Sebagai gantinya IP camera bisa menggunakan POE
(Power Over Ethernet).
Untuk
hasil gambar, rekaman yang dihasilkan IP camera juga lebih jelas karena
resolusi yang dihasilkan sudah tinggi
3)
HD-SDI CAMERA
HD-SDI
camera mampu menampung data dan menampilkan gambar yang lebih baik bila
dibandingkan dengan analog camera. Bila menggunakan perbandingan harga, harga
HD-SDI camera berada diantara analog dan IP camera.
Untuk
jenis kabel yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh analog camera, yaitu
menggunakan jenis coaxial. Cara kerja jenis kamera inipun hampir sama dengan
analog camera.
Dalam
perkembangannya, muncul HD-CVI yang teknologinya dianggap mampu bersaing dengan
IP camera. Menggunakan transmitter (built-in camera) dan receiver (built-in
DVR), HD-CVi mampu menghasilkan resolusi gambar sebesar 720 dpi (1280x270
pixel) hingga 1080 dpi (1920x1080 pixel). Teknologi HD-CVI ini juga mampu
mentransmisikan sinyal video, audio, dan kontrol PTZ (pan tilt zoom) hanya
dengan satu kabel coaxial saja.
Pada
akhirnya, penentuan penggunaan jenis kamera CCTV yang paling tepat untuk Anda
gunakan kembali kepada kebutuhan dan budget yang Anda miliki. Itu sebabnya
sebaiknya sebelum Anda mengambil keputusan untuk membeli produk apa yang paling
tepat, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahlinya.
Manfaat CCTV bagi Kepolisian
CCTV
dapat dijadikan solusi bagi kepolisian dalam menangani permasalahan kejahatan
yang terjadi di wilayah publik.
Beberapa kegunaan
CCTV yang berhubungan
dengan kepolisian adalah:
1) Upaya Preventif
Pelaku kejahatan akan menjadi ragu kalau melihat
sasarannya mempunyai CCTV. Banyak bangunan besar yang memiliki beberapa ceruk
pada eksterior menggunakan sistem CCTV ini. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
ada beberapa wilayah di sekitar gedung tempat seseorang bisa bersembunyi dan
menyerang orang yang tidak curiga. Jika rumah memiliki gerbang, CCTV bisa
dimanfaatkan sehingga orang di dalam bangunan dapat melihat siapa yang berusaha
untuk masuk dan mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan. Sehingga CCTV dapat
dianggap sebagai alat untuk mencehah terjadinya kejahatan.
2) Alat Pantau
Untuk memonitor keadaan dan aktivitas di dalam rumah atau
tempat usaha dan sarana publik dari mana saja dan kapan saja.
3) Membantu Penyelidikan
CCTV dapat menunjang penyelidikan tindak kejahatan yang
telah terjadi. Membantu pihak berwajib mengidentifikasi pelaku kejahatan atau
penyebab kecelakaan.
4) Barang Bukti
Hasil rekaman video dan foto dari CCTV dapat dijadikan
barang bukti. Ketika Anda melaporkan tentang pencurian atau kecelakaan, hasil
rekaman dan foto dari CCTV dapat menunjukkan siapa pelakunya.
Fungsi camera CCTV dengan proses
Penyelidikan / Penyidikan & pembuktian dipersidangan
a.
CCTV dalam Proses Penyelidikan
Fungsi
CCTV (Closed Circuit Television) dalam membantu pengungkapan aksi criminal
serta pelakunya sangat besar. Dengan bantuan alat tersebut, dalam hitungan jam
berkat bantuan CCTV pelaku kejahatan akan di identifikasi serta dengan mudah
akan ditangkap.
CCTV
adalah kamera pengintai yang digunakan untuk menyelidiki atau mengawasi suatu
tempat yang dianggap rawan. Alat ini sekaligus bisa merekam secara audio visual
yang disambungkan dengan layar monitor.
CCTV
dalam penyelidikan digunakan sebagai pengungkapan tindakan tersebut terkait
dengan tindakan pidana atau tidak.
Contoh
:
Aksi
pencurian yang berhasil tertangkap oleh kamera CCTV
Aksi
perampokan di rumah an. Jupri di Kawasan Pontianak tenggara . Dengan bantuan
alat tersebut, dalam hitungan jam aksi Lexi cs berhasil diketahui oleh
kepolisian. Dalam jangka waktu 9 jam, kasus tersebut berhasil terungkap.
Melihat di CCTV, cara kerja mereka sangat profesional. Mereka terlihat tenang
ketika beraksi. Tidak memberikan tanda-tanda yang mencurigakan terhadap orang
lain.
Adapun
saran bagi pemilik rumah maupun pengusaha agar dapat melakukan pemasangan CCTV.
Hal Ini dianggap penting agar pelaku kejahatan mudah dideteksi dan cepat
dilakukan penangkapan serta Penempatan CCTV harus pada lokasi yang strategis,
agar letaknya lebih efektif sehingga dapat memantau dari sudut yang sesuai.
Pemasangan
CCTV sangat membantu pihak kepolisian dalam mengungkap tindak kejahatan, Karena
dari rekaman kamera tersebut, pelaku akan mudah diidentifikasi.
b.
CCTV dalam proses Penyidikan
Cctv
sebagai alat bukti pidana pasca putusan MK 20/PUU-XIV/2016, hal tersebut
menunjang Penyidik untuk menentukan CCTV sebagai bagian dari alat bukti dalam
penyidikan.
Berbicara mengenai kedudukan CCTV sebagai alat bukti
dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016. CCTV
masuk dalam pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE dan merupakan alat bukti yang sah
dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat
dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan
persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU
ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang
menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam
Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi
elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Putusan Mahkamah Konstitusi inilah
kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan CCTV sebagai
alat bukti dalam hukum acara pidana.
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
telah terdapat pertanyaan hukum mengenai kedudukan dari informasi elektronik
dan dokumen elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika kita
menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di situ dikatakan bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan
yang sah mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul
pertanyaan apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti
atau merupakan bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) terdapat lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai
penambahan maka alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum
menjadi lebih dari lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi
elektronik dan data elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat
bukti petunjuk bagi Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai
sebagai bagian dari alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum
pidana secara umum tetap lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen
elektronik tersebut dapat dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti
surat. Ahli hukum pidana Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, SH. MH. mengkategorikan
informasi elektronik dan data elektronik sebagai bagian dari alat bukti
petunjuk pada tahun 2016. Dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan
terdakwa Jessica Kumala Wongso, beliau menyatakan bahwa CCTV merupakan bukan
merupakan alat bukti yang pengaturannya bersifat limitatif dalam Pasal 184
KUHAP namun merupakan barang bukti yang dapat ditempatkan sebagai bagian dari
alat bukti petunjuk untuk memperoleh keyakinan hakim. Pendapat tersebut juga
didasari pandangan hukum acara pidana modern yang menempatkan kedudukan barang
bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti.
a. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem
pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti,
hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
b. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak
menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat
disita, yaitu:
1) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana;
2) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3) benda yang digunakan untuk menghalang-halangi
penyelidikan tindak pidana;
4) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana;
5) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita
seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai
barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment
(”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa
para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari
kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas
barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang
yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan
barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
1) Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana
(corpora delicti)
2) Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak
pidana (corpora delicti)
3) Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana (instrumenta delicti)
4) Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan
untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan
oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga
dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah
mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana
delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan
(alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan
hasil dari suatu delik menurut Andi Hamzah, dalam bukunya “Hukum Acara Pidana
Indonesia”, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
1) Merupakan objek materiil
2) Berbicara untuk diri sendiri
3) Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan
sarana pembuktian lainnya
4) Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan
keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau
corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis
hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan
kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim
sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang
bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik
atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai
barang bukti pengadilan.
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas
dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :
1) Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana
2) Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan
suatu tindak pidana
3) Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu
tindak pidana
4) Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
5) Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi
penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman
suara
6) Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi
kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena
ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan
barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1]
KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti
di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal
Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti
adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial
notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat
bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak
termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat
adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur
bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan
bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan peran CCTV
dalam penyidikan, dpt dijadikan sebagai alat bukti dlm persidangan, dengan
catatan pengambilan rekaman cctv harus melalui mekanisme yg benar yakni
dilakukan oleh forensik polri dan menjadi keterkaitan dimana ada Saksi ahli dan
barang bukti menjadi satu kesatuan.
c.
CCTV dalam pembuktian proses persidangan
Untuk
mengetahui peran CCTV, kita harus urai terlebih dahulu satu per satu terkait
aturan hukumnya.
Alat bukti yang sah menurut KUHAP
Dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) disebutkan bahwa hanya terdapat 5 (lima) alat bukti yang
sah, yakni:
1) keterangan saksi;
2) keterangan ahli;
3) surat;
4) petunjuk;
5) keterangan terdakwa.
Alat bukti yang sah menurut UU No. 11/2008 tentang
ITE
Pasal 5 dan pasal 44 UU ITE mengatur tentang alat
bukti sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Perundang-undangan; dan
b) alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta
Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September
2016 menindaklanjuti permohonan judicial review UU ITE
Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
a. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik; dst.
Dalam Pertimbangan Hukum Pokok Permohonan Putusan MK,
dinyatakan bahwa:
UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan
intersepsi atau penyadapan seperti yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG
DILARANG khususnya Pasal 31 ayat (1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan
atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer
dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”. Penjelasan Pasal 31 ayat
(1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau
penyadapan sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu
“Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk
mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,
seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan
penjelasannya maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang
lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) yang
menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”;
Pendapat penulis
Meskipun dalam putusan MK sebanyak dua kali tertulis
frase "tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya
perekaman" namun penulis tidak menemukan kata "perekaman" dalam UU
ITE. Yang ada hanya frase "rekam cadang elektronik" pada pasal 40 dan
kata "merekam" pada penjelasan pasal 31 ayat (1).
Dilihat kembali pasal pasal 31 ayat (2) dan
penjelasan pasal 31 ayat (1) UU ITE:
Pasal 31 ayat (2) BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu
Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Penjelasan pasal 31 ayat (1)
Yang dimaksud dengan "intersepsi atau
penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel
komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau
radio frekuensi.
Jadi menurut pendapat penulis, UU ITE dengan jelas
dan tegas menuliskan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan
adalah kegiatan (mendengarkan, merekam, dll.) yang hanya berkaitan dengan
transmisi informasi elektronik bukan kegiatan merekam dalam arti luas. Pasal 31
ayat (2) juga menuliskan frase "intersepsi atas transmisi". Jadi
kegiatan merekam yang dimaksudkan dalam UU ITE, menurut penulis, sebenarnya
hanyalah kegiatan merekam transmisi informasi elektronik, bukan merekam audio
atau video secara langsung (tanpa transmisi informasi elektronik).
Pengertian transmisi informasi elektronik adalah:
Kegiatan menghubungkan antara pengirim dan penerima
menggunakan media transmisi (kabel, nirkabel maupun serat optis) agar dapat
dilakukannya pertukaran informasi elektronik.
Informasi elektronik adalah:
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk namun
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, EDI
(electronic data interchange), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Putusan MK, menurut penulis, telah memperluas makna
merekam tidak hanya merekam transmisi informasi elektronik namun merekam apa
pun (termasuk namun tidak terbatas pada merekam tulisan, suara, gambar, video).
Menurut konstitusi kita, MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan menafsirkan
Undang-Undang dan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Jadi, bagaimana hubungannya dengan rekaman kamera
CCTV, yang merupakan informasi elektronik, yang menurut pasal 5 UU ITE
merupakan alat bukti hukum yang sah?
Sesuai keputusan MK informasi elektronik (termasuk
rekaman kamera CCTV) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”
sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
Artinya, rekaman kamera CCTV bisa menjadi alat bukti
yang sah APABILA dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
Permasalahannya adalah apakah yang dimaksudkan dengan
frase "atas permintaan" di
atas adalah permintaan pemasangan/perekaman menggunakan CCTV ataukah permintaan
hasil rekaman kamera CCTV. Ini pasti akan menjadi sesuatu yang debatable. Jika
yang dimaksudkan adalah permintaan perekaman/pemasangan kamera CCTV maka
seluruh pemasangan kamera CCTV di mall-mall, supermarket, minimarket, jalan
raya, kompleks perumahan, instansi pemerintahan, mesin ATM, dll. harus atas
permintaan kepolisian dan/atau penegak hukum lainnya jika nantinya akan
dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan. Namun jika
yang dimaksudkan adalah permintaan hasil rekamannya, maka selama dilakukan
dalam rangka penegakan hukum dan sesuai prosedur maka rekaman kamera CCTV dapat
dijadikan alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan.
Bagaimana menjamin orisinalitas alat bukti rekaman
kamera CCTV?
Bedasarkan pasal 6 UU ITE dan penjelasannya:
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk
tertulis atau lisan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap
sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Penjelasan Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi
dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya
informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk
media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan
salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada
dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang
asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Menurut penulis, rekaman kamera CCTV yang asli adanya
di DVR (Digital Video Recorder), meskipun saat ini sudah banyak rekaman kamera
CCTV yang disimpan di kamera berupa memory card (micro SD). Namun apa pun
medianya jika kita copy-kan ke media lain (misalnya flash disk atau hard disk
laptop) maka data rekaman kamera CCTV yang ada di flash disk atau hard disk
laptop tersebut merupakan salinannya. Dan sesuai penjelasan pasal 6 UU ITE,
karena Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang
mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya,
maka dokumen yang asli dan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan,
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Oleh karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan di
sidang pengadilan, maka proses pemindahan data asli rekaman kamera CCTV ke
salinannya haruslah dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dibuatkan berita
acara pengambilan/pemindahan data rekaman ini. Analoginya adalah legalisasi
ijazah hasil foto copy yang menerangkan bahwa salinan sesuai aslinya dan
ditandatangani pejabat berwenang, sehingga keotentikan salinan ijazah tersebut
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam UU ITE penulis juga tidak menemukan kata
"orisinal" atau "orisinalitas", yang ada hanyalah kata
"asli" yakni pada penjelasan pasal 6 di atas.
Kata orisinal atau orisinalitas sering dipertanyakan
oleh pakar hukum terkait alat bukti informasi elektronik, dalam hal ini hasil
rekaman kamera CCTV. Apakah orisinal sama dengan asli? Menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) orisinal berarti asli, tulen. Lantas apakah salinan
informasi elektronik dapat dikatakan asli/orisinal?
Menurut penulis, kata yang tepat untuk salinan
informasi elektronik bukanlah asli/orisinal, melainkan otentik. Mengapa
otentik? Otentik bermakna sah, dapat dipercaya, dapat dipertanggungjawabkan.
Siapa yang berwenang mengesahkan atau menyatakan sah salinan informasi elektronik
(dalam hal ini salinan rekaman kamera CCTV)? Tentu yang berwenang adalah aparat
penegak hukum dan/atau ahli forensik digital yang dibuktikan dengan berita
acara pengambilan/pemindahan data rekaman. Alat bukti ini nanti di uji di
pengadilan dan pada akhirnya hakimlah yang memutuskan apakah alat bukti rekaman
kamera CCTV ini dapat digunakan atau dikesampingkan.
Informasi yang tercantum dalam alat bukti rekaman
kamera CCTV harus dapat diakses, ditampilkan dan dijamin keutuhannya.
Dapat diakses artinya kita harus dapat berinteraksi
dengan informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut.
Dapat ditampilkan artinya informasi yang ada dalam
rekaman kamera CCTV tersebut harus dapat ditunjukkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan melalui layar monitor komputer, layar projector, TV, maupun
hasil cetakan berupa dokumen.
Dijamin keutuhannya artinya informasi yang ada dalam
rekaman kamera CCTV harus dijaga keutuhan informasinya, dalam artian tidak
adanya perubahan, manipulasi, distorsi atau rekayasa informasi, termasuk namun
tidak terbatas pada penyuntingan, penghapusan, pemotongan, penambahan,
pengulangan, pengkompresian data atau informasi. Jika data harus dianalisis
atau dilakukan forensik digital maka harus dilakukan oleh aparat penegak hukum
dan/atau ahli forensik digital serta dilakukan sedemikian rupa tanpa
menghilangkan keutuhan atau kesatuan datanya.
Dari penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa
selama belum adanya revisi terhadap UU No. 11/2008 tentang ITE maka rekaman
kamera CCTV (yang merupakan salah satu bentuk informasi elektronik) dapat
digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah atau setidak-tidaknya dapat
digunakan sebagai penunjang alat bukti di sidang pengadilan sepanjang
pengambilan dan/atau pemindahan hasil rekaman kamera CCTV dilakukan sesuai
prosedur, dilengkapi berita acara pengambilan/pemindahan, dilakukan oleh pihak
yang berwenang, informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan serta dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Namun demikian sebagai mana alat bukti lainnya di
sidang pengadilan, hakim dapat melakukan penilaian atas alat bukti yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum. Hakim dapat menyatakan suatu alat bukti sah
atau tidak, digunakan atau dikesampingkan. Dengan kata lain, dalam pertimbangan
untuk mengambil suatu keputusan, hakim dapat menggunakan suatu alat bukti atau
mengesampingkannya sesuai penilaiannya.
Komentar
Posting Komentar