CCTV & HUKUM

     Teknologi CCTV berkaitan Fitur Camera & kaitan dengan solusi untuk HUKUM di Indonesia




PENDAHULUAN
Peran teknologi informasi sudah menjadi hal yang penting pada saat ini. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin menjamur, berbagai bidang pekerjaan seperti pendidikan, kedokteran, keamanan dan lain – lain kini telah menggunakan perangkat - perangkat teknologi. Perangkat - perangkat tersebut salah satunya adalah komputer. Dengan bantuan komputer semua pekerjaan kita dibantudan dipermudah. Hampir semua pekerjaan dalam berbagai bidang pada saat ini sudahmenggunakan komputer. Dalam bidang keamanan misalnya, sudah tidak asing lagi bagi kita jika di setiap gedung – gedung perkantoran atau di tempat - tempat usahakini menggunakan sistem keamanan yang terkomputerisasi. Keamanan merupakan hal yang sangat penting, berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan keamanan. Teknologi keamanan yang banyak digunakan sekarangadalah Closed-Circuit Television (CCTV).
Alat tersebut dapat memantau dan merekam segala aktivitas dan kejadian pada suatu tempat setiap saat. Maka tidak heran jika kita menemukan kamera yang terpasang di perusahaan - perusahaan besar, mall, pertokoan dan tempat umum lainnya guna menjamin keamanan bagi pengelolahnya. Selain ditempat – tempat umum,  juga digunakan untuk menjaga rumah atau ruang penyimpanan atau gudang untuk menjaga informasi atau properti di dalamnya. Tanpa harus menempatkan banyak tenaga kerja terpercaya di setiap sudut ruangan yang harus dijaga,  sehingga dapat memantau setiap ruangan dengan sebuah monitor.
CCTV banyak digunakan di seluruh dunia sebagai alat keamanan dan pengawasan. Artikel ini akan melihat apa pengertian CCTV, sejarah singkat teknologi ini dan beberapa pemanfaatan utama CCTV di masyarakat.

Sejarah Tentang CCTV
Salah satu kegunaan CCTV besar pertama di tahun 1940-an oleh Militer AS. Untuk menguji misil V2 kamera sirkuit tertutup digunakan untuk memonitor tes keselamatan. Teknologi ini menguntungkan karena pengertian CCTV memungkinkan petugas untuk menonton erat, melihat keluar untuk cacat dan kemungkinan masalah sementara tinggal keluar dari bahaya. Tanpa masalah CCTV dengan rudal mungkin telah pergi tanpa diketahui.

Di Inggris pada 1960-an CCTV dipasang di beberapa tempat umum untuk mengamati kerumunan selama pawai dan rapat umum. Sebagai teknologi yang berkembang dan menjadi CCTV berteknologi tinggi lebih banyak digunakan di tempat umum untuk memonitor aktivitas. Selanjutnya menggunakan termasuk mencegah pencurian dari outlet ritel.


Arti CCTV
CCTV singkatan untuk televisi sirkuit tertutup. Jadi, pengertian CCTV ini berbeda dari televisi anda menonton sabun favorit Anda pada karena tidak menyiarkan sinyal kepada publik. Sebaliknya ia mengirimkan foto dari kamera video ke monitor baik melalui kabel, pemancar nirkabel atau melalui internet. Gambar ini dapat direkam dan disimpan pada disk.

Berdasarkan pengertian CCTV di atas, CCTV banyak digunakan untuk memantau area publik seperti stasiun kereta api, jalan, alun-alun pusat kota, toko-toko dan bus. Namun, tidak berhenti di tempat umum karena banyak orang yang sekarang berinvestasi dalam CCTV untuk melindungi rumah mereka. Dengan 9,5 juta kejahatan di Inggris dan Wales tahun lalu jelas untuk melihat mengapa CCTV sangat penting.

CCTV adalah pencegah kejahatan besar sebagai pelaku tahu ini lebih besar kemungkinan mereka akan diidentifikasi. Daerah yang kurang atau tidak ada CCTV mungkin akan lebih berisiko kejahatan karena hal ini. Jika kehadiran CCTV tidak menghalangi pelaku maka diharapkan akan menangkap informasi yang cukup untuk membantu dengan penyelidikan polisi.

Sesuai dengan arti CCTV, untuk bisnis CCTV dapat bertindak sebagai pencegah dari pencuri eksternal namun juga dapat membantu mengidentifikasi penjahat dalam sebuah organisasi. Untuk manajer dan pemilik usaha CCTV dapat memberikan informasi bermanfaat tentang cara efektif karyawan Anda bekerja. Hal ini dapat membantu melindungi staf Anda tidak salah dituduh misalnya jika nasabah klaim mereka telah kehilangan-dijual produk, dan juga dapat melindungi perusahaan dari tuduhan palsu misalnya penukaran cedera.

CCTV merupakan sebuah sistem komputer menggunakan video kamera untuk menampilkan dan merekam gambar pada waktu dan tempat dimana perangkat tersebut terpasang. CCTV adalah singkatan dari kata Closed Circuit Television, yang artinya menggunakan sinyal yang bersidat tertutup atau rahasia, tidak seperti televisi biasa pada umumnya yang merupakan broadcast signal.CCTV pada umumnya digunakan untuk pelengkap sistem keamanan dan juga banyak dipergunakan di berbagai lokasi seperti bandara, kemiliteran, kantor, pabrik, dan toko. Bahkan semakin berkembanya teknologi, CCTV sudah dipasang dalam lingkungan rumah pribadi.

Sebagai sistem keamanan, CCTV terdiri dari beberapa bagian, ialah sebagai berikut.
1) Camera
Camera CCTV berfungsi sebagai alat pengambil gambar. Camera CCTV terdiri dari beberapa tipe yang dibedakan dari segi fungsi, kualitas dan penggunaannya. Terdapat 2 kategori utama yang meliputi:

    Camera CCTV Network
    Camera CCTV Analog



2) DVR (Digital Video Recorder)
DVR kepanjangan dari Digital Video Recorder ialah salah satu perangkat yang diguanakan camera CCTV untuk merekam gambar atau yang dikirim oleh camera ke dalam perangkat ini. Terdapat 2 kategori penting didalamnya, yaitu:

    Stand Alone DVR
    PC Card DVR

Terdapat bayak sekali fitur dari DVR yang bisa anda manfaatkan sebagai alat keamanan, contoh salah satunya ialah merekam semua kejadian atau peristiwa dimana hasil rekaman seringkali dipergunakan dalam kasus peradilan dalam membuktikan suatu perkara atau kejadian. Ada berbagai jenis DVR yang dapat digunakan dengan fitur dan keunggulan yang berbeda-beda. Keunggulan atau spesifikasi DVR inilah yang menentukan berapa banyak kamera yang dapat dipasang dan kualitas gambar yang dihasilkan.

DVR juga berfungsi untuk mengatur dan merekam cara kerja CCTV yang biasanya dibagi ke dalam beberapa channel, antara lain: 4,8,16 dan 32.


3) Hard Disk Drive (HDD)
HDD adalah singkatan dari Hard Disk Drive yang merupakan media penyimpanan data dari gambar video yang telah direkam.Hard Disk Drive dipasang di dalam DVR. Semakin besar kapasitas HDD maka semakin panjang pula proses perekaman yang dapat dilakukan oleh CCTV tersebut.

4) Coaxial Cable
Ini adalah kabel yang merupakan kabel penghantar signal video dari kamera CCTV ke DVR, atau sebaliknya dari DVR ke monitor.

5) Power Cable
Kabel ini diperlukan apabila kabel kamera CCTV yang disediakan tidak cukup panjang untuk menjangkau sumber listrik terdekat.

6) BNC Connector
Adalah konektor yang dipasang pada kabel coaxial.






CCTV diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya:

1) ANALOG CAMERA

Sistem kerja kamera analog terhubung ke DVR dengan menggunakan kabel jenis coaxial/BNC(Bayonet Neil Connector). Hasil rekaman akan disimpan ke dalam hardisk di storage DVR yang terhubung ke monitor untuk melihat gambar yang terekam dengan memanfaatkan jaringan LAN maupun internet.

Salah satu kelemahan CCTV jenis ini adalah keterbatasan dalam penempatan karena harus menggunakan kabel. Selain itu tampilan gambar juga kurang maksimal bila di zoom dengan resolusi tinggi, karena resolusi yang dihasilkan oleh analog camera hanya sebesar 960×576 pixel.

2) IP CAMERA

IP ( Internet Protocol ) Camera memiliki fungsi dan cara kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan analog camera. IP Camera dapat secara otomatis mentransfer data atau mengkonversi file ke dalam file digital yang dapat dilihat secara online melalui internet dengan menggunakan IP yang telah ditentukan.

Kamera ini juga mampu memproses gambar atau rekaman lalu mengirimkan informasi melalui koneksi Ethernet ke komputer, PC, Mobile Phone, dll yang di dalamnya terdapat aplikasi CMS (Content Management System) yang dapat diakses dengan web browser seperti firefox, IE, Chrome dll.

Selain menggunakan kabel yang berbeda dengan analog camera (IP camera menggunakan kabel jenis UTP), IP camera juga tidak harus menggunakan adaptor/power DC seperti halnya analog camera. Sebagai gantinya IP camera bisa menggunakan POE (Power Over Ethernet).

Untuk hasil gambar, rekaman yang dihasilkan IP camera juga lebih jelas karena resolusi yang dihasilkan sudah tinggi

3) HD-SDI CAMERA

HD-SDI camera mampu menampung data dan menampilkan gambar yang lebih baik bila dibandingkan dengan analog camera. Bila menggunakan perbandingan harga, harga HD-SDI camera berada diantara analog dan IP camera.

Untuk jenis kabel yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh analog camera, yaitu menggunakan jenis coaxial. Cara kerja jenis kamera inipun hampir sama dengan analog camera.

Dalam perkembangannya, muncul HD-CVI yang teknologinya dianggap mampu bersaing dengan IP camera. Menggunakan transmitter (built-in camera) dan receiver (built-in DVR), HD-CVi mampu menghasilkan resolusi gambar sebesar 720 dpi (1280x270 pixel) hingga 1080 dpi (1920x1080 pixel). Teknologi HD-CVI ini juga mampu mentransmisikan sinyal video, audio, dan kontrol PTZ (pan tilt zoom) hanya dengan satu kabel coaxial saja.

Pada akhirnya, penentuan penggunaan jenis kamera CCTV yang paling tepat untuk Anda gunakan kembali kepada kebutuhan dan budget yang Anda miliki. Itu sebabnya sebaiknya sebelum Anda mengambil keputusan untuk membeli produk apa yang paling tepat, tidak ada salahnya Anda berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahlinya.


Manfaat CCTV bagi Kepolisian

CCTV dapat dijadikan solusi bagi kepolisian dalam menangani permasalahan kejahatan yang terjadi di wilayah publik.
Beberapa kegunaan CCTV  yang berhubungan dengan kepolisian adalah:
1) Upaya Preventif
Pelaku kejahatan akan menjadi ragu kalau melihat sasarannya mempunyai CCTV. Banyak bangunan besar yang memiliki beberapa ceruk pada eksterior menggunakan sistem CCTV ini. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa ada beberapa wilayah di sekitar gedung tempat seseorang bisa bersembunyi dan menyerang orang yang tidak curiga. Jika rumah memiliki gerbang, CCTV bisa dimanfaatkan sehingga orang di dalam bangunan dapat melihat siapa yang berusaha untuk masuk dan mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan. Sehingga CCTV dapat dianggap sebagai alat untuk mencehah terjadinya kejahatan.
2) Alat Pantau
Untuk memonitor keadaan dan aktivitas di dalam rumah atau tempat usaha dan sarana publik dari mana saja dan kapan saja.
3) Membantu Penyelidikan
CCTV dapat menunjang penyelidikan tindak kejahatan yang telah terjadi. Membantu pihak berwajib mengidentifikasi pelaku kejahatan atau penyebab kecelakaan.
4) Barang Bukti
Hasil rekaman video dan foto dari CCTV dapat dijadikan barang bukti. Ketika Anda melaporkan tentang pencurian atau kecelakaan, hasil rekaman dan foto dari CCTV dapat menunjukkan siapa pelakunya.




      Fungsi camera CCTV dengan proses Penyelidikan / Penyidikan & pembuktian dipersidangan



a.    CCTV dalam Proses Penyelidikan
Fungsi CCTV (Closed Circuit Television) dalam membantu pengungkapan aksi criminal serta pelakunya sangat besar. Dengan bantuan alat tersebut, dalam hitungan jam berkat bantuan CCTV pelaku kejahatan akan di identifikasi serta dengan mudah akan ditangkap.

CCTV adalah kamera pengintai yang digunakan untuk menyelidiki atau mengawasi suatu tempat yang dianggap rawan. Alat ini sekaligus bisa merekam secara audio visual yang disambungkan dengan layar monitor.

CCTV dalam penyelidikan digunakan sebagai pengungkapan tindakan tersebut terkait dengan tindakan pidana atau tidak.

Contoh :
Aksi pencurian yang berhasil tertangkap oleh kamera CCTV
Aksi perampokan di rumah an. Jupri di Kawasan Pontianak tenggara . Dengan bantuan alat tersebut, dalam hitungan jam aksi Lexi cs berhasil diketahui oleh kepolisian. Dalam jangka waktu 9 jam, kasus tersebut berhasil terungkap. Melihat di CCTV, cara kerja mereka sangat profesional. Mereka terlihat tenang ketika beraksi. Tidak memberikan tanda-tanda yang mencurigakan terhadap orang lain.

Adapun saran bagi pemilik rumah maupun pengusaha agar dapat melakukan pemasangan CCTV. Hal Ini dianggap penting agar pelaku kejahatan mudah dideteksi dan cepat dilakukan penangkapan serta Penempatan CCTV harus pada lokasi yang strategis, agar letaknya lebih efektif sehingga dapat memantau dari sudut yang sesuai.

Pemasangan CCTV sangat membantu pihak kepolisian dalam mengungkap tindak kejahatan, Karena dari rekaman kamera tersebut, pelaku akan mudah diidentifikasi.

b.    CCTV dalam proses Penyidikan

Cctv sebagai alat bukti pidana pasca putusan MK 20/PUU-XIV/2016, hal tersebut menunjang Penyidik untuk menentukan CCTV sebagai bagian dari alat bukti dalam penyidikan.

Berbicara mengenai kedudukan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016. CCTV masuk dalam pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE dan merupakan alat bukti yang sah dalam hukum acara yang berlaku, sehingga dalam hukum acara pidana dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE. Terhadap pasal tersebut Mahkamah Kontitusi telah mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa frase informasi elektronik dan/atau data elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frase informasi elektronik dan/atau data elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Putusan Mahkamah Konstitusi inilah kemudian yang dipandang sebagai dasar untuk membatasi penggunaan CCTV sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana.

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terdapat pertanyaan hukum mengenai kedudukan dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia. Jika kita menganalisis ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di situ dikatakan  bahwa keduanya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Tidak ada penjelasan yang sah mengenai apa yang dimaksud dengan perluasan tersebut sehingga timbul pertanyaan apakah perluasan tersebut dimaknai sebagai penambahan alat bukti atau merupakan bagian dari alat bukti yang telah ada. Dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat lima alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dan jika perluasan tersebut dimaknai penambahan maka alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia secara umum menjadi lebih dari lima. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah informasi elektronik dan data elektronik tersebut dapat dijadikan dasar sebagai alat bukti petunjuk bagi Majelis Hakim. Kemudian apabila perluasan tersebut dimaknai sebagai bagian dari alat bukti yang telah ada maka alat bukti dalam hukum pidana secara umum tetap lima, namun baik informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut dapat dimasukkan dalam alat bukti petunjuk atau alat bukti surat. Ahli hukum pidana Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, SH. MH. mengkategorikan informasi elektronik dan data elektronik sebagai bagian dari alat bukti petunjuk pada tahun 2016. Dalam keterangannya sebagai ahli dalam persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso, beliau menyatakan bahwa CCTV merupakan bukan merupakan alat bukti yang pengaturannya bersifat limitatif dalam Pasal 184 KUHAP namun merupakan barang bukti yang dapat ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti petunjuk untuk memperoleh keyakinan hakim. Pendapat tersebut juga didasari pandangan hukum acara pidana modern yang menempatkan kedudukan barang bukti dan alat bukti sebagai bagian dari bukti.
a.  Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

b. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
1)    benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2)    benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3)    benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4)    benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5)    benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,

Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

1)    Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)
2)    Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
3)    Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)
4)    Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik menurut Andi Hamzah, dalam bukunya “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

1)    Merupakan objek materiil
2)    Berbicara untuk diri sendiri
3)    Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
4)    Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :

1)    Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
2)    Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana
3)    Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
4)    Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
5)    Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
6)    Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).

Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini,  real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.



Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan peran CCTV dalam penyidikan, dpt dijadikan sebagai alat bukti dlm persidangan, dengan catatan pengambilan rekaman cctv harus melalui mekanisme yg benar yakni dilakukan oleh forensik polri dan menjadi keterkaitan dimana ada Saksi ahli dan barang bukti menjadi satu kesatuan.

c.    CCTV dalam pembuktian proses persidangan

Untuk mengetahui peran CCTV, kita harus urai terlebih dahulu satu per satu terkait aturan hukumnya.

Alat bukti yang sah menurut KUHAP
Dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan bahwa hanya terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah, yakni:
1)    keterangan saksi;
2)    keterangan ahli;
3)    surat;
4)    petunjuk;
5)    keterangan terdakwa.

Alat bukti yang sah menurut UU No. 11/2008 tentang ITE
Pasal 5 dan pasal 44 UU ITE mengatur tentang alat bukti sebagai berikut:
Pasal 5
(1)   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
(3)   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4)   Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a)    surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b)    surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.


Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a)    alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b)    alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 menindaklanjuti permohonan judicial review UU ITE
Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
a. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dst.

Dalam Pertimbangan Hukum Pokok Permohonan Putusan MK, dinyatakan bahwa:
UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG khususnya Pasal 31 ayat (1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan penjelasannya maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”;

Pendapat penulis
Meskipun dalam putusan MK sebanyak dua kali tertulis frase "tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya perekaman" namun penulis tidak menemukan kata "perekaman" dalam UU ITE. Yang ada hanya frase "rekam cadang elektronik" pada pasal 40 dan kata "merekam" pada penjelasan pasal 31 ayat (1).

Dilihat kembali pasal pasal 31 ayat (2) dan penjelasan pasal 31 ayat (1) UU ITE:
Pasal 31 ayat (2) BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Penjelasan pasal 31 ayat (1)
Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Jadi menurut pendapat penulis, UU ITE dengan jelas dan tegas menuliskan bahwa yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan (mendengarkan, merekam, dll.) yang hanya berkaitan dengan transmisi informasi elektronik bukan kegiatan merekam dalam arti luas. Pasal 31 ayat (2) juga menuliskan frase "intersepsi atas transmisi". Jadi kegiatan merekam yang dimaksudkan dalam UU ITE, menurut penulis, sebenarnya hanyalah kegiatan merekam transmisi informasi elektronik, bukan merekam audio atau video secara langsung (tanpa transmisi informasi elektronik).
Pengertian transmisi informasi elektronik adalah:
Kegiatan menghubungkan antara pengirim dan penerima menggunakan media transmisi (kabel, nirkabel maupun serat optis) agar dapat dilakukannya pertukaran informasi elektronik.
Informasi elektronik adalah:
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, EDI (electronic data interchange), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Putusan MK, menurut penulis, telah memperluas makna merekam tidak hanya merekam transmisi informasi elektronik namun merekam apa pun (termasuk namun tidak terbatas pada merekam tulisan, suara, gambar, video). Menurut konstitusi kita, MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan menafsirkan Undang-Undang dan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi, bagaimana hubungannya dengan rekaman kamera CCTV, yang merupakan informasi elektronik, yang menurut pasal 5 UU ITE merupakan alat bukti hukum yang sah?
Sesuai keputusan MK informasi elektronik (termasuk rekaman kamera CCTV) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Artinya, rekaman kamera CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah APABILA dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Permasalahannya adalah apakah yang dimaksudkan dengan frase  "atas permintaan" di atas adalah permintaan pemasangan/perekaman menggunakan CCTV ataukah permintaan hasil rekaman kamera CCTV. Ini pasti akan menjadi sesuatu yang debatable. Jika yang dimaksudkan adalah permintaan perekaman/pemasangan kamera CCTV maka seluruh pemasangan kamera CCTV di mall-mall, supermarket, minimarket, jalan raya, kompleks perumahan, instansi pemerintahan, mesin ATM, dll. harus atas permintaan kepolisian dan/atau penegak hukum lainnya jika nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan. Namun jika yang dimaksudkan adalah permintaan hasil rekamannya, maka selama dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan sesuai prosedur maka rekaman kamera CCTV dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan.

Bagaimana menjamin orisinalitas alat bukti rekaman kamera CCTV?
Bedasarkan pasal 6 UU ITE dan penjelasannya:
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau lisan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Penjelasan Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.

Menurut penulis, rekaman kamera CCTV yang asli adanya di DVR (Digital Video Recorder), meskipun saat ini sudah banyak rekaman kamera CCTV yang disimpan di kamera berupa memory card (micro SD). Namun apa pun medianya jika kita copy-kan ke media lain (misalnya flash disk atau hard disk laptop) maka data rekaman kamera CCTV yang ada di flash disk atau hard disk laptop tersebut merupakan salinannya. Dan sesuai penjelasan pasal 6 UU ITE, karena Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya, maka dokumen yang asli dan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Oleh karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan di sidang pengadilan, maka proses pemindahan data asli rekaman kamera CCTV ke salinannya haruslah dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dibuatkan berita acara pengambilan/pemindahan data rekaman ini. Analoginya adalah legalisasi ijazah hasil foto copy yang menerangkan bahwa salinan sesuai aslinya dan ditandatangani pejabat berwenang, sehingga keotentikan salinan ijazah tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam UU ITE penulis juga tidak menemukan kata "orisinal" atau "orisinalitas", yang ada hanyalah kata "asli" yakni pada penjelasan pasal 6 di atas.
Kata orisinal atau orisinalitas sering dipertanyakan oleh pakar hukum terkait alat bukti informasi elektronik, dalam hal ini hasil rekaman kamera CCTV. Apakah orisinal sama dengan asli? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) orisinal berarti asli, tulen. Lantas apakah salinan informasi elektronik dapat dikatakan asli/orisinal?
Menurut penulis, kata yang tepat untuk salinan informasi elektronik bukanlah asli/orisinal, melainkan otentik. Mengapa otentik? Otentik bermakna sah, dapat dipercaya, dapat dipertanggungjawabkan. Siapa yang berwenang mengesahkan atau menyatakan sah salinan informasi elektronik (dalam hal ini salinan rekaman kamera CCTV)? Tentu yang berwenang adalah aparat penegak hukum dan/atau ahli forensik digital yang dibuktikan dengan berita acara pengambilan/pemindahan data rekaman. Alat bukti ini nanti di uji di pengadilan dan pada akhirnya hakimlah yang memutuskan apakah alat bukti rekaman kamera CCTV ini dapat digunakan atau dikesampingkan.

Informasi yang tercantum dalam alat bukti rekaman kamera CCTV harus dapat diakses, ditampilkan dan dijamin keutuhannya.
Dapat diakses artinya kita harus dapat berinteraksi dengan informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut.
Dapat ditampilkan artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut harus dapat ditunjukkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan melalui layar monitor komputer, layar projector, TV, maupun hasil cetakan berupa dokumen.
Dijamin keutuhannya artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV harus dijaga keutuhan informasinya, dalam artian tidak adanya perubahan, manipulasi, distorsi atau rekayasa informasi, termasuk namun tidak terbatas pada penyuntingan, penghapusan, pemotongan, penambahan, pengulangan, pengkompresian data atau informasi. Jika data harus dianalisis atau dilakukan forensik digital maka harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan/atau ahli forensik digital serta dilakukan sedemikian rupa tanpa menghilangkan keutuhan atau kesatuan datanya.

Dari penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa selama belum adanya revisi terhadap UU No. 11/2008 tentang ITE maka rekaman kamera CCTV (yang merupakan salah satu bentuk informasi elektronik) dapat digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah atau setidak-tidaknya dapat digunakan sebagai penunjang alat bukti di sidang pengadilan sepanjang pengambilan dan/atau pemindahan hasil rekaman kamera CCTV dilakukan sesuai prosedur, dilengkapi berita acara pengambilan/pemindahan, dilakukan oleh pihak yang berwenang, informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan serta dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Namun demikian sebagai mana alat bukti lainnya di sidang pengadilan, hakim dapat melakukan penilaian atas alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Hakim dapat menyatakan suatu alat bukti sah atau tidak, digunakan atau dikesampingkan. Dengan kata lain, dalam pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan, hakim dapat menggunakan suatu alat bukti atau mengesampingkannya sesuai penilaiannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situasi Politik Indonesia

FILSAFAT ILMU